Minggu, 19 Desember 2010

Indonesia dalam Genggaman Mafia Tambang

Mafia Tambang: Kasat Mata tapi Tak Terjamah


Soekarno Jatuh Karena Freeport & Mafia Tambang Indonesia. Menurut pengamat sejarawan (LIPI), Dr. Asvi Marwan Adam, Soekarno benar-benar ingin Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia dikelola oleh anak bangsa sendiri. Asvi juga menuturkan, sebuah arsip di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mengungkapkan bahwa pada 15 Desember 1965 sebuah tim yang dipimpin oleh Chaerul Saleh di Istana Cipanas sedang membahas tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Soeharto yang sangat pro-pemodal asing, datang ke sana dengan menumpang helikopter. Dia menyatakan kepada peserta rapat, bahwa dia dan Angkatan Darat tidak setuju rencana nasionalisasi perusahaan asing itu. “Soeharto sangat berani saat itu, Bung Karno juga tidak pernah memerintahkan seperti itu,” kata Asvi.

Sebelum tahun 1965, seorang taipan dari Amerika (Freeport Sulphur) menemui Soekarno. Pengusaha itu menyatakan keinginannya berinvestasi di Papua. “Saya sepakat & itu tawaran menarik. Tapi tidak untuk saat ini", coba tawarkan kepada generasi setelah saya,” ujar Asvi menirukan jawaban Soekarno. Soekarno menolak secara halus. Soekarno sudah bertekad bahwa SDA harus dikelola anak bangsa dalam bentuk BUMN & pada waktu itu belum ada BUMN.

BUMN yang ada saat ini adalah murni ide dan inisiasi dari Soekarno untuk dikelola berdasarkan UUD 1945 pasal 33 bentukan. Pada waktu itu Soekarno berencana modal asing baru boleh masuk ke Indonesia setelah putra-putri Indonesia siap mengelola. Soekarno tidak mau perusahaan luar negeri masuk pada saat orang Indonesia masih memiliki pengetahuan nol tentang alam mereka sendiri. Untuk mempersiapkan penguasaan SDA, Soekarno mengirim banyak mahasiswa belajar ke negara-negara Eropa, Rusia, Eropa Timur, Jepang, dan lain-lain.

Presiden Soekarno dan Jenderal Soeharto

Pada tahun 1964, seorang peneliti diberi akses untuk membuka dokumen penting yang ada di Departemen Luar Negeri & menemukan surat dari Duta Besar Pakistan di Eropa. Desember 1964, diplomat itu menyampaikan informasi rahasia dari intelijen Belanda yang mengatakan bahwa dalam waktu dekat, Indonesia akan beralih ke Barat. Maksud dari informasi itu adalah akan dibuat isu terjadi kudeta di Indonesia oleh Partai Komunis. Oleh sebab itu Jenderal Soeharto memiliki alasan kuat untuk menamatkan Partai Komunis Indonesia (PKI), setelah itu membuat Soekarno menjadi tahanan.

Telegram rahasia dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat ke Perserikatan Bangsa-Bangsa pada April 1965 menyebut Freeport Sulphur. Freeport Sulphur sudah sepakat dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan puncak Erstberg di Papua. Salah satu bukti sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan ada pertemuan para penglima tinggi dan pejabat Angkatan Darat Indonesia membahas rencana darurat itu, bila Presiden Soekarno meninggal. Namun kelompok yang dipimpin Jenderal Soeharto tersebut ternyata bergerak lebih jauh dari rencana itu. Jenderal Soeharto justru mendesak angkatan darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan.

Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi bahwa semuanya itu memang benar adanya. Maka dibuatlah PKI sebagai kambing hitam (tersangka) pembunuhan 7 Dewan Jenderal yang pro-Sukarno melalui G30S yang didalangi oleh PKI. Setelah pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965, keadaan Indonesia berubah total. Terjadi kudeta yang telah direncanakan dengan “memelintir dan mengubah” isi Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) 1966. Pada akhirnya isi dari surat perintah itu disalah-artikan, dan SUPERSEMAR itu pun hingga kini tidak diketahui di mana rimbanya maupun wujud aslinya sampai sekarang. Dalam SUPERSEMAR, menurut Kolonel Saelan, Soekarno sebenarnya hanya memberi mandat untuk mengatasi keadaan negara yang kacau-balau kepada Soeharto. Isi dari SUPERSEMAR itu bukan justru menjadikan Soeharto untuk menjadi seorang Presiden menggantikan Soekarno.

Presiden Soekarno bersama Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy

Dalam artikel berjudul JFK, Indonesia, CIA, and Freeport yang diterbitkan Probe Magazine edisi Maret-April 1996, Lisa Pease menulis bahwa Forbes Wilson mendapat telepon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams, menanyakan, “Apakah Freeport sudah siap untuk mengekplorasi gunung emas di Irian Barat?” Dia berpikir Freeport masih akan sulit mendapatkan izin karena Soekarno masih berkuasa. Forbes Wilson jelas kaget dengan jawaban & sikap tegas Soekarno yang juga sudah tersebar di dalam dunia para elite-elite & kartel-kartel pertambangan & minyak dunia.

Ketika itu Soekarno masih sah menjabat sebagai Presiden Indonesia hngga 1967. Lalu darimana Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan Freeport? Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai kontak dengan tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia. Beberapa elit Indonesia yang dimaksud pada era itu diantaranya adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan pada saat itu Ibnu Sutowo. Pada saat penandatanganan kontrak dengan Freeport, juga dilakukan oleh menteri Pertambangan Indonesia selanjutnya yaitu Ir. Slamet Bratanata. Selain itu juga ada seorang pengusaha sekaligus “makelar” untuk perusahaan-perusahaan asing yaitu ex-KNIL dari Australia Julius Tahija. Julius Tahija berperan sebagai penghubung antara Ibnu Sutowo dengan Freeport.

Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto. Perusahaan Freeport Sulphur of Delaware, AS pada 7 April 1967 menandatangani kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat. Penandatanganan bertempat di Deptamben, dengan Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri Ir. Slamet Bratanata, Freeport Robert C. Hills (Presiden Direktur Freeport Shulpur). Disaksikan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshall Green, Freeport mendapat hak konsensi lahan seluas 10.908 hektar untuk kontrak selama 30 tahun.

Jika Soekarno melakukan kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, maka sejak Soeharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah merugikan Indonesia. Perjanjian-perjanjian tambang-tambang di bumi Indonesia tak wajar, tak adil & terus-menerus serta perjanjian-perjanjian tersebut akan berlaku puluhan bahkan ratusan tahun ke depan. Kekayaan alam Indonesia pun digadaikan, kekayaan Indonesia pun terjual, dirampok, dibawa kabur ke negara-negara maling.


1980, Freeport menggandeng McMoran milik Jim Bob Moffet & menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar dollar Amerika Serikat pertahun. Eksekutif Freeport-McMoran, George A. Maley, dalam buku berjudul “Grasberg”, memaparkan tambang emas disitu memiliki deposit terbesar di dunia. Maley juga menulis jika biaya produksi tambang emas/tembaga terbesar di dunia di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia. Seyogyanya sebutan “Kota Tembagapura” itu sebenarnya menyesatkan dan salah, karena seharusnya adalah “Kota Emaspura”. Gunung tersebut sejatinya adalah memang gunung emas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar