Sabtu, 01 November 2014

Tambang Minyak dan Gas PERTAMINA di Sangatta, Kalimantan Timur


PT. PERTAMINA (Persero) memang selalu bernasib sial. Dari zaman ke zaman, BUMN terbesar pengelola kekayaan alam minyak dan gas bumi Indonesia dan penanggung jawab pemenuhan kebutuhan migas rakyat itu selalu menjadi bancakan para perampok menyaru pejabat dan pengusaha. Setelah kemarin Dahlan Iskan gagal menoreh korupsi sebesar Rp. 39.8 triliun melalui KSO 40 Sumur Migas Backbone PERTAMINA EP, kini kita review kembali perampokan terhadap PERTAMINA yang sudah merugikan negara lebih Rp. 17 triliun.
Salah satu kasus korupsi terbesar di Indonesia yang sampai hari ini belum tuntas penyelesaiannya adalah kasus korupsi PT. Trans Pasific Petrochemical Indonesia yang biasa disingkat TPPI. Kerugian negara yang ditimbulkan oleh TPPI adalah sekitar Rp. 17 Triliun.
TPPI merupakan perusahaan petrokimia dan refinery (kilang minyak) terbesar di Asia Tenggara. Perusahaan penghasil produk-produk seperti Aromatics (BTX) yang berlokasi di Tuban, Jawa Timur, Perusahaan ini juga memproduksi produk-produk BBM lain seperti Kerosene, Diesel Oil, dan lain – lain.
TPPI didirikan tahun 1995 oleh Hashim Djojohadikusumo, Njoo Kok Kiong alias Al Njoo, dan Honggo Wendratno, Pada waktu berdirinya, Hashim Djojohadikusumo memiliki saham 50% di TPPI , sisanya dimiliki oleh Al Njoo dan Honggo. Pada tahun 1997 Hashim Djojohadikusumo pemilik grup Tirtamas ini terlibat utang macet senilai Rp. 17 triliun kepada para pihak yang sebagian besar adalah BUMN dan institusi keuangan negara.

Utang TPPI terdiri dari utang ke perusahaan domestik Rp. 9 triliun, PERTAMINA Rp. 5 trliun, PPA Rp. 3 trilium, BP Migas Rp. 1 triliun. Untuk membayar utang tersebut, Hashim menyerahkan TPPI ke BPPN yg selanjutnya direstrukturisasi tanpa melibatkan Hashim dan Al Njoo. Utang inilah yang direstrukturisasi yg disinyalir mengakomodasi berbagai kepentingan dan ramai diperbincangkan. Tentu saja akomodasi itu tidak gratis. Pejabat – pejabat BPPN diduga menerima suap sangat besar.

BPPN dan Honggo sepakat membentuk perusahaan baru PT. Tuban Petrochemicals Industri sebagai wahana penyelesaian utang TPPI. Tuban Petro lalu menerbitkan obligasi yg jatuh tempo tahun 2014 yang dipegang pemerintah senilai Rp 4.26 Triliun.

Setelah restrukturisasi tahap pertama, kepemilikan saham TPPI berubah menjadi Tuban Petro 59%, Itochu Corp 4,25% Siam Cement 17%; Sojitz Corp 4,25%; dan PERTAMINA 15%. Sedang kepemilikan saham di Tuban Petro menjadi 70% milik Pemerintah, sisanya 30% dimiliki Honggo. Selama utang belum dilunasi, pemerintah mendapat dividen dari keuntungan penjualan hasil produksi TPPI, besarnya deviden sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki.

Setelah BPPN bubar, saham pemerintah dikuasakan ke PPA, BUMN milik pemerintah yg mewakili utang-piutang tersebut. Selama ini PERTAMINA memasok bahan baku minyak dan kondensat ke TPPI , namun TPPI tidak mampu membayar utang itu. PERTAMINA kemudian meminta TPPI membayar utang itu dengan minyak yang dihasilkannya. Dalam skenario restruriksasi PERTAMINA diwajibkan membeli produk minyak dan gas. 900 juta barel atau minimal 50.000 barrel/hari. Padahal harga belinya lebih mahal dari harga MOPS+1,22% . PERTAMINA juga wajib membeli elpiji 7,1 juta ton dengan harga CP Aramco+US$ 140/ton

Selama kurun waktu 10 tahun saja PERTAMINA menanggung kerugian atas pembelian tersebut sebesar 22 Triliun lebih. Potensi kerugian berasal dari pembelian migas (premium) RON 88 milik TPPI dengan memakai patokan harga di pasar Singapura (MOPS) ditambah Rp500 per liter.

Harga MOPS plus Rp500 per liter itu berarti lebih tinggi US$9,69 per barel dibandingkan harga perolehan Petral yakni MOPS minus US$0,86 per barel. Sedangkan, potensi kerugian lainnya sebesar Rp 7 triliun berasal dari sisi operasional pendistribusian migasnya.

Fee yg diterima PERTAMINA hanya Rp 163/liter, sedangkan biaya penyimpanan dan pendistribusian migas sebesar Rp 415/liter, sehingga PERTAMINA harus menanggung kerugian Rp 252/liter. Potensi kerugian PERTAMINA akan semakin besar bila restruriksasi terus berlanjut.

Kenapa TPPI begitu spesial perlakuannya? Genk Palembang yang menguasai PERTAMINA disebut-sebut sebagai pemain yang mengakibatkan lambannya utang TPPI dibayar. MRC mafia minyak di PERTAMINA disebut-sebut juga ikut terlibat.  Hatta Rajasa yang pernah menjadi kasir Cikeas termasuk diduga juga bagian dari mafia ini. Bagaimana kedekatan MRC dengan Hatta Rajasa dan Amir Sambodo staff khusus Hatta Rajasa dan juga yang dulu pernah merangkap sebagai Direktur Utama TPPI.


Ada juga disebut – sebut Mantan Ketua DPR Marzuki Alie beserta kawan-kawannya dan para anggota DPR ikut bermain di TPPI ini. Ada pemegang saham TPPI yg melakukan lobby kepada mereka. Ada upaya perampokan uang negara oleh anggota-anggota DPR untuk sebagian disetorkan ke partai politik masing-masing. Mantan Direktur Utama PERTAMINA Widya Purnama diduga sebagai operator restrukturisasi TPPI dengan imbalan persentase dari nilai utang yang kemudian dibagi-bagi sebagai bancakan para elit.