Tambang Minyak dan Gas PERTAMINA di Sangatta, Kalimantan Timur |
PT. PERTAMINA (Persero) memang selalu bernasib sial. Dari zaman ke
zaman, BUMN terbesar pengelola kekayaan alam minyak dan gas bumi Indonesia dan
penanggung jawab pemenuhan kebutuhan migas rakyat itu selalu menjadi bancakan
para perampok menyaru pejabat dan pengusaha. Setelah kemarin Dahlan Iskan gagal
menoreh korupsi sebesar Rp. 39.8 triliun melalui KSO 40 Sumur Migas Backbone
PERTAMINA EP, kini kita review kembali perampokan
terhadap PERTAMINA yang sudah merugikan negara lebih Rp. 17 triliun.
Salah satu kasus korupsi terbesar di Indonesia yang sampai hari
ini belum tuntas penyelesaiannya adalah kasus korupsi PT. Trans Pasific
Petrochemical Indonesia yang biasa disingkat TPPI. Kerugian negara yang
ditimbulkan oleh TPPI adalah sekitar Rp. 17 Triliun.
TPPI merupakan perusahaan petrokimia dan refinery (kilang minyak)
terbesar di Asia Tenggara. Perusahaan penghasil produk-produk seperti Aromatics
(BTX) yang berlokasi di Tuban, Jawa Timur, Perusahaan ini juga memproduksi
produk-produk BBM lain seperti Kerosene, Diesel Oil, dan lain – lain.
TPPI didirikan tahun 1995 oleh Hashim Djojohadikusumo, Njoo Kok
Kiong alias Al Njoo, dan Honggo Wendratno, Pada waktu berdirinya, Hashim
Djojohadikusumo memiliki saham 50% di TPPI , sisanya dimiliki oleh Al Njoo dan
Honggo. Pada tahun 1997 Hashim Djojohadikusumo pemilik grup Tirtamas ini
terlibat utang macet senilai Rp. 17 triliun kepada para pihak yang sebagian
besar adalah BUMN dan institusi keuangan negara.
Utang TPPI terdiri dari utang ke perusahaan domestik Rp. 9
triliun, PERTAMINA Rp. 5 trliun, PPA Rp. 3 trilium, BP Migas Rp. 1
triliun. Untuk membayar utang tersebut, Hashim menyerahkan TPPI ke BPPN yg
selanjutnya direstrukturisasi tanpa melibatkan Hashim dan Al Njoo. Utang inilah
yang direstrukturisasi yg disinyalir mengakomodasi berbagai kepentingan dan
ramai diperbincangkan. Tentu saja akomodasi itu tidak gratis. Pejabat – pejabat
BPPN diduga menerima suap sangat besar.
BPPN dan Honggo sepakat membentuk perusahaan baru PT. Tuban
Petrochemicals Industri sebagai wahana penyelesaian utang TPPI. Tuban Petro
lalu menerbitkan obligasi yg jatuh tempo tahun 2014 yang dipegang pemerintah
senilai Rp 4.26 Triliun.
Setelah restrukturisasi tahap pertama, kepemilikan saham TPPI
berubah menjadi Tuban Petro 59%, Itochu Corp 4,25% Siam Cement 17%; Sojitz Corp
4,25%; dan PERTAMINA 15%. Sedang kepemilikan saham di Tuban Petro menjadi 70% milik
Pemerintah, sisanya 30% dimiliki Honggo. Selama utang belum dilunasi,
pemerintah mendapat dividen dari keuntungan penjualan hasil produksi TPPI,
besarnya deviden sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki.
Setelah BPPN bubar, saham pemerintah dikuasakan ke PPA, BUMN milik
pemerintah yg mewakili utang-piutang tersebut. Selama
ini PERTAMINA memasok bahan baku minyak dan kondensat ke TPPI , namun
TPPI tidak mampu membayar utang itu. PERTAMINA kemudian meminta TPPI
membayar utang itu dengan minyak yang dihasilkannya. Dalam skenario
restruriksasi PERTAMINA diwajibkan membeli produk minyak dan gas. 900
juta barel atau minimal 50.000 barrel/hari. Padahal harga belinya lebih mahal
dari harga MOPS+1,22% . PERTAMINA juga wajib membeli elpiji 7,1 juta
ton dengan harga CP Aramco+US$ 140/ton
Selama kurun waktu 10 tahun saja PERTAMINA menanggung
kerugian atas pembelian tersebut sebesar 22 Triliun lebih. Potensi kerugian berasal
dari pembelian migas (premium) RON 88 milik TPPI dengan memakai patokan harga
di pasar Singapura (MOPS) ditambah Rp500 per liter.
Harga MOPS plus Rp500 per liter itu berarti lebih tinggi US$9,69
per barel dibandingkan harga perolehan Petral yakni MOPS minus US$0,86 per
barel. Sedangkan, potensi kerugian lainnya sebesar Rp 7 triliun berasal dari
sisi operasional pendistribusian migasnya.
Fee yg diterima PERTAMINA hanya Rp 163/liter, sedangkan
biaya penyimpanan dan pendistribusian migas sebesar Rp 415/liter,
sehingga PERTAMINA harus menanggung kerugian Rp 252/liter. Potensi
kerugian PERTAMINA akan semakin besar bila restruriksasi terus
berlanjut.
Kenapa TPPI begitu spesial perlakuannya? Genk Palembang yang
menguasai PERTAMINA disebut-sebut sebagai pemain yang mengakibatkan
lambannya utang TPPI dibayar. MRC mafia minyak di PERTAMINA disebut-sebut juga ikut terlibat. Hatta Rajasa
yang pernah menjadi kasir Cikeas termasuk diduga juga bagian dari mafia ini.
Bagaimana kedekatan MRC dengan Hatta Rajasa dan Amir Sambodo staff khusus Hatta
Rajasa dan juga yang dulu pernah merangkap sebagai Direktur Utama TPPI.
Ada juga disebut – sebut Mantan Ketua DPR Marzuki Alie beserta
kawan-kawannya dan para anggota DPR ikut bermain di TPPI ini. Ada pemegang
saham TPPI yg melakukan lobby kepada mereka. Ada upaya perampokan uang negara
oleh anggota-anggota DPR untuk sebagian disetorkan ke partai politik
masing-masing. Mantan Direktur Utama PERTAMINA Widya Purnama diduga
sebagai operator restrukturisasi TPPI dengan imbalan persentase dari nilai
utang yang kemudian dibagi-bagi sebagai bancakan para elit.