Ketika, Flores Bangkit menurunkan berita “Tolak Tambang, Pemda Matim Minta Warga Konsisten” (FBC 21/02/2014), publik dihadapkan pada dua tokoh penentu kebijakan di wilayah Manggarai Timur (Matim): pertama, wakil bupati (Wabub) Manggarai Timur Andreas Agas, yang meminta ke-konsisten-an warga Matim yang berdemo menolak tambang.
Agas pun menjelaskan, jangan sampai setelah ini ada warga yang mulai mendukung tambang, dalam hal ini untuk menyamakan persepsi, sehingga warga dan pemerintah bisa mengambil keputusan yang tepat. Agas pun berujar: “Kita masih mencari dan duduk bersama pada akhirnya bisa memutuskan yang terbaik bagi masyarakat”.
Kedua, John Nahas, Ketua DPRD Matim. Nahas, kepada Forum Persatuan Rakyat Merdeka dan Berdaulat (PRMB) saat diskusi di Kantor DPRD Matim berjanji akan memanggil pihak eksekutif untuk menjelaskan terkait keberadaan tambang di wilayah itu.
Sepintas, jawaban kedua tokoh di atas menyiratkan kegamangan pemerintah dalam menyikapi tuntutan masyarakat. Saya sendiri, tidak terlalu terkejut ketika mendengar penyataan Agas, karena menurut laporan jurnalis Flores Bangkit, saat pasangan ini mencalonkan diri pada laga pemilihan bupati, dari pandangan masyarakat yang mendengar visi dan misi politik sang kandidat kala itu, semua pasangan termasuk pasangan Tote-Agas, tidak memiliki komitmen bahwa Matim akan bebas dari eksploitasi tambang (cf. FBC 22/07/2013)
Laporan jurnalis FBC ini, didasarkan pada wawancara dengan salah satu penduduk Manggarai Timur, yaitu Venansius, di Borong, Jumat 19/07/2013). Menurut informan yang diwawancarai: “Isu-isu yang disampaikan ke empat pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati (termasuk paket Yoga, Yoseph Tote-Andreas Agas) kala itu, hanya menyinggung masalah normatif yakni isu pendidikan, jalan, kesehatan, supremasi hukum, ekonomi. Kalau yang disampaikan seputar persoalan itu, maka normatif saja, tidak menukik ke soal tambang yang daya rusak lingkungannya besar sekali”.
Melihat, tanggapan warga ini, rupanya masyarakat kita sekarang makin kritis, mampu membuat analisis sosial, sekaligus menilai tawaran politik visi dan misi dari satu kandidat dalam sebuah proses demokrasi lokal -pemilihan bupati. Mengapa para calon tidak menyinggung soal tambang? Apakah ada investor yang membackingi pencalonannya? Jawabannya ada di kedalaman nurani para calon kala itu, termasuk Tote-Agas yang sekarang menjabat sebagai pemimpin Matim.
Seandainya pemerintah sanggup membaca realitas Matim yang terwakilkan oleh Venansius, masalah tambang di sana bukan hanya menyangkut masalah ekonomi, tapi juga menyangkut rasa keadilan. Masyarakat Matim, sedang menunggu komitmen pemimpin yang menyatakan ‘Matim bebas dari tambang’. Dalam nada luruh serentak segumpal harapan, Venansius pun berujar: “Kasihan masyarakat Manggarai Timur kalau lingkungannya sudah rusak. Karena itu, kita berharap pemimpin Matim kedepan harus memiliki komitmen terhadap lingkungan, dan salah satunya adalah Manggarai Timur harus bebas dari masalah tambang”.
Membaca ‘In-konsistensi Agas’ dan “Janji” Nahas
Setelah berita diturunkan oleh FBC tentang tanggapan Wabub Matim Andreas Agas yang meminta rakyat konsisten, ada tanggapan balik datang dari saudara Fidel Hardjo yang dilansir FBC. Hardjo dengan kejeliannya, mengkritisi Agas. Kalau Agas meminta konsistensi warga, maka Hardjo melihat ada “In-konsistensi Agas” sebagai yang menahkodai pemerintahan Matim dalam menyikapi masalah pertambangan yang dituntut para demosntran.
Menurut Hardjo, tanggapan Wabub Andreas Agas, benar adanya, tapi tidak tepat sasar, bukan ditujukan kepada masyarakat, tapi pasnya kepada para pejabat, sehingga Hardjo pun berujar: “Gertak Wabub Matim agar pendemo konsistensi tolak tambang adalah benar. Tetapi lebih benar jika gertak itu dialamatkan kepada semua pemimpin. Sebab, para pemimpin yang justru banyak menciptakan kebijakan yang inkonsistensi. Ada yang terang-terangan. Lebih banyak, inkonsistensi kebijakannya beroperasi dalam hening” (FBC 22/02/2014).
Hardjo sebenarnya sedang memberi awasan, bukan saja kepada Agas selaku Wabub Matim, tetapi kepada pemerintah Matim untuk menangkap problem yang di alami masyarakat, membacanya dalam konteks, lalu membuat terobosan dalam memberi solusi. Pemerintah, jangan hanya membuat gertak kepada masyarakat sebab hanya akan menghasilkan krisis kepercayaan publik.
Di sisi lain, gertak sambal Agas, seakan membenarkan apa yang dikatakan salah seorang penduduk Manggarai Timur, Venansius, yang diliput oleh jurnalis FBC. bahwa memang Yosep Tote dan Andreas Agas, tak punya nyali politik menolak dalam menyikapi problem tambang di Matim. Kalau memang ini benar, berarti publik tak perlu berharap banyak pada kepemimpinan Yoseph Tote dan Andreas Agas soal kebijakan izin tambang.
Dalam situasi ini, wajar saja Fidel Hardjo, kolumnis FBC pun mempertanyakan arah pembangunan dan idealisme politik Tote-Agas, “…melampaui soal kekonsistensian tolak tambang yaitu apa master plan bupati dan wabub Matim yang menjadi dasar pijak pembangunan Matim ke depan. Menyandar kepada industri tambang menyejahterakan warga atau fokus dan tekun dengan pengolahan pertanian warga?”
Di sisi lain, kita saksikan figur John Nahas, ketua DPRD Matim, yang bersedia berdialog dengan kelompok pendemo. Sikap Nahas perlu diapresiasi, sebab posisinya sebagai Ketua DPRD dan mau menerima rakyat, berbeda dengan Bupati Matim, yang hanya menyodorkan wakilnya untuk menemui rakyat yang berdemo.
Tapi jangan dulu terkecoh, karena Nahas juga masih pada level “berjanji” belum terealisasi. Peran Nahas sebagai wakil rakyat, sangat didambakan dalam menyuarakan kebenaran, bukan hanya kelompok pendemo, tapi juga seluruh masyarakat Matim dalam menyeselesaikan masalah tambang, tentunya berpijak pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Publik pantas berharap, semoga “janji” Nahas, sedikit berbeda dengan janji caleg yang tengah berlaga, yang lebih suka menebar pesona ketimbang politik yang merakyat.
Artinya, publik menunggu peran Nahas sebagai wakil rakyat yang merakyat. Bahasa lainnya kalau Nahas tak akan memenuhi janjinya, publik pun akan “menagih” janji itu, entah melalui demo berikutnya atau dalam bentuk runtuhnya kepercayaan publik atas Nahas dan lebih luas pada DPRD Matim.
Kekuasaan dan Monster Tambang
Lahirnya otonomi daerah, sebenarnya merupakan pembalikan dari konsep pembangunan masa Orde Baru yang berciri centralis, di mana semua bergantung dari dan ke pusat. Artinya, otonomi daerah membuat desentralisasi. Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah daerah (pemda) diberi ruang untuk mengatur pembangunan di tingkat lokal dengan potensi yang ada.
Konsep ini sebenarnya berdampak, bukan hanya desentralisasi kekuasaan tapi juga pembangunan yang berbasis lokal. Tentunya, ini akan semakin membuka lebar lapangan pekerjaan, sehingga ekonomi rakyat semakin meningkat. Artinya, secara sederhana bisa dikatakan, tujuan otonomi daerah adalah mempercepat pembangunan daerah, dengan tetap berpijak pada kearifan lokal suatu daerah. Sebuah model pembangunan dari bawah, dari konteks lokal.
Sebagai dampak dari desentralisasi kekuasaan, kewenangan pemda juga semakin luas dalam menentukan roda pembangunan daerahnya. Pemda pun sibuk mencari PAD. Bersamaan dengan itu, investor-investor, termasuk investor pertambangan membanjiri daerah-daerah. Pemda pun tergiur. Akibatnya, kesempatan yang luas itu juga menjadikan kekuasaan pemda itu, juga dibayangi oleh para investor tambang sehinga terjadi “perselingkuhan” antara pemda dan investor dengan dalih demi sebuah pembangunan.
Tak heran, monster tambang pun mulai merasuki kekuasaan para pemegang pemerintahan di daerah. Investasi berskala besar dalam sektor pertambangan pun membanjiri daerah. Lihat saja data yang pernah dilansir Flores Bangkit, untuk konteks Manggarai Timur, ada berapa izin tambang yang telah dikeluarkan oleh pemerintah:
PT Aditya Bumi Pertambangan ijin operasi produksi jenis Bahan Galian di Kecamatan Lamba Leda desa Satar Punda Lokasi Waso, Satar Tau, Lengko Lolok, Tumbak dengan luas Lahan 2.222 Hektar, PT Istindo Mitra Perdana IUP operasi Produksi jenis produksi Mangan jenis Bahan Galian Mangan Lokasi Kecamatan Lamba Leda, desa Satar Punda, lokasi Serise luas 736,30 hektar
Selain itu, PT. Istindo Mitra Perdana bentuk perijinan IUP Eksplorasi Jenis Bahan Galian Mangan lokasi Lamba Leda desa Satar Punda, lokasi Serise Utara luas 515,8 hektar, PT Alaska Dwipa Perdana IUP Eksplorasi jenis bahan Galian Mangan kecamatan Lamba Leda desa Gola Nimbung lokasi Roket luas 2000 hektar.
PT. Alaska Dwipa Perdana IUP Eksplorasi jenis bahan galian mangan kecamatan Lamba Leda desa Tengku Lawar, lokasi Golo Rawang luas lokasi 623,5 hektar. PT Manggarai Manganese IUP Eksplorasi bahan galian Mangan kecamatan Elar dan Sambi Rampas lokasi Golo Lebo, legur lai, Golo lijung, kelurahan Nanga Baras 23.010 hektar.
PT Sentral Multi Mineral IUP Eksplorasi Jenis Bahan Galian Mangan kecamatan Sambi Rampas Desa Nanga Mbaur, lokasi Tompong luas lahan 2000 hektar, PT. Sentra Multi Mineral IUP Eksplorasi Mangan kecamatan Sambi Rampas Desa Nanga Mbaur lokasi Kampung Tengah luas areal 2000 hektar. PT. Periksa Alam Energi KP Eksplorasi jenis Bahan Galian kecamatan Lamba Leda, Desa Nampar Tabang, Golo Munga, Dan Gorong Meni, lokasi Diwuk, Cepang, Cenop, Muwur, dan Wodong luas areal 4.000 Hektar.
Melihat data-data di atas, rupanya pertrambangan akan menjadi wajah pembangunan Matim. Tapi tunggu dulu, apakah nanti rakyat sejahtera atau tidak, itu tidak terlalu diprioritaskan. Sehingga, Agas pun mempertanyakan konsistensi warga yang protes terhadap kehadiran tambang.
Pembangunan berwajah tambang, sesungguhnya hanya sebuah “mimpi” karena kalau dicermati, pertambangan baik di Manggarai, maupun Flores secara umum, belum menyejahterakan rakyat. Ekonomi rakyat masih tinggal di tempat. Cerita kemiskinan adalah kisah yang tak pernah putus dari generasi ke generasi.
Kalau memang realitasnya demikian, mengapa pemda terjebak dalam eksploitasi tambang sebagai “basis” pembangunan? Mengapa mereka tak mau melirik dan membangunnya dari basis kekuatan ekonomi lain? Apakah tanpa tambang, rakyat Manggarai atau secara khusus Matim tak bisa sejahtera?
Sederet pertanyaan ini muncul, karena untuk daratan Flores dan juga dalam konteks Matim, sangat marak penolakan terhadap tambang. Tapi tetap saja pemda tak bergeming, entah tak mengerti atau pura-pura tidak mengerti akan realitas ganasnya monster tambang dengan segala dampkanya terhadap kehidupan masyarakat dan lingkungan huniannya. Yang jelas “silencio” -“keheningan”- pemda di sana terhadap tuntutan masyarakat, membuat publik pun bertanya-tanya, ada apa dengan para pemimpin daerah kita?
Pemda juga menjadi Monster?
Untuk memecah silencio (keheningan) pejabat daerah, mari kita telusuri dengan nalar dan daya kritis, sekedar untuk menguak relasi antara kebijakan dan kekuasaan yang bisa jadi dibayangi monster tambang. Sehingga, publik pun mengerti mengapa banyak pemda kita enggan menolak eksplotasi tambang, meskipun penolakan masyarakat begitu kuat muncul ke ruang publik. Atau mungkin silencio-nya pemda mengindikasikan bahwa mereka juga sudah ber-metamorfosis menjadi “monster”.
Rupanya, setelah pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diamendemen oleh UU No 32/2004, memberikan ruang kebebasan kepada pemda sebagai pemberi konsesi pertambangan. Artinya, kekuasaan itu telah beralih, dari pusat ke penguasa daerah seperti gubernur, bupati, atau wali kota. Korporasi pun membanjiri daerah-daerah.
Koorporasi dengan segala janji kemajuan dan kemakmuran rakyat, membuat para pemimpin di daerah tergiur. Hal ini semakin tak terbendungi dikarenakan juga minimpnya visi politik dan gagasan pembangunan dari sang pemimpin. Akibatnya pemda terjebak dalam pembangunan ekomomi yang instant, yaitu pertambangan.
Instant, karena tak perlu pusing kepala dan menguras tenaga untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Koorporasi menjadi mesin pencetak uang bagi pemda. Tak peduli, apakah pemberian izin konsesi tambang itu melumpuhkan masayarakat atau tidak.
Hukum tak lagi ditaati, yang diutamakan adalah kekayaan diperut bumi dikeruk habis, digadaikan ke investor. Mengerikan. Menggunakan kekuasaan untuk menggadaikan tanah kelahiran sendiri. Kita pun perlu mempertanyakan integritas pemimpin-pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan investor dan mengabaikan keluhan dan tuntutan masyarakat.
Ferdy Hasiman, peneliti dari Indonesia Today, beberapa waktu lalu melalui tulisannya yang dilansir harian umum Kompas, melihat bahwa mental borjuasi dari pemerintah lokal juga membuat monster tambang semakin mengganas. Mental borjuasi ini menyebabkan pemda sesuka hati menjual tanah rakyak kepada investor.
Hasiman pun berujar “merajanya korporasi lokal membuat pemda lebih menempatkan diri sebagai sahabat investor daripada penyelenggara negara. Transaksi, mulai dari perizinan hingga pengapalan bahan tambang, dipermudah” (Kompas, 21 september 2013). Tak jarang, dalam situasi seperti ini, aparat keamanan lebih memihak dan mengamankan aset investor daripada berpihak kepada masyarakat yang menuntut keadilan.
Pemda, kehilangan rasa keadilan dan orientasi pembangunan, karena digerus oleh hasrat korupsi. Otonomi daerah, hanya sebagai instrumen memperkaya diri. Akibatnya keadilan sosial tak juga menjadi wajah masyarakat lokal. Sebaliknya, kemiskinan menjadi realita yang tak terbendungi. Tambang melabrak ketahanan budaya lokal, hutan lindung digadai keperawananya ke korporasi sehingga menghancurkan tata ruang wilayah.
Rakyat pun dibohongi dengan janji kesejahtaraan yang tak kunjung tiba. Bahkan tambang telah menciptakan konflik sosial dan agraria akibat reklamasi hak ulayat masyarakat adat. Mengerikan, korporasi tambang yang dilegalkan pemerintah telah memperbudak warga, dengan gaji yang minim, tanpa jaminan kesehatan dan keselamatan kerja. Tambang, korporasi dan pemerintah adalah kolonialisme baru yang menindas rakyat.
Realitas ini, membuat kita berpikir bahwa, bukan hanya tambang yang menjadi monster, tetapi juga pemerintah dengan segala kekuasaannya yang tamak dan bermental borjuasi adalah monster yang terus menghantui dan memiskinan masyarakat. Lalu, apakah kita terus rela tanah kita digadaikan dan dirusaki oleh monster-monster itu?
Melumpuhkan Monster
Saya kira, banyak yang tidak rela monster-monster itu terus menghancurkan rimbunya bumi Congka Sae (Manggarai), atau lebih luas bumi Flores. Karenanya, monster-monster itu poerlu dilumpuhkan. Ada dua cara yang bisa digunakan untuk melumpuhkan dua monster itu, baik itu monster tambang maupun pemerintah yang sudah ber-transformasi menjadi monster. Pertama Re-desain konsep pembangunan.Kedua, penegakan hukum.
Pertama, Re-desain konsep pembangunan. Aksi massa menolak eksploitasi tambang sudah sering terjadi, tapi pemerintah daerah lebih memihak investor dari pada mendengarkan rakyatnya. Demo yang terus bergulir adalah bentuk perlawanan dan penolakan warga atas kebijakan pembangunan yang pincang, berwajah korup dan bermental borjuasi.
Perlawanan itu membuktikan tambang dalam konteks Manggarai, belum mampu menyejahterakan masyarakat. Bahkan membawa bencana. Penolakan tambang dengan menduduki lokasi tambang Serise beberapa tahun lalu perlu menjadi bahan pertimbangan. Sebenarnya, pemda harus sigap, merevisi kembali orientasi pembangunan dengan mengembalikannya kepada tujuan mulia otonomi daerah, memberdayakan komunitas lokal.
Pemda harus memiliki konsep pembangunan berbasis komunitas lokal. Pengembangan sektor pertanian dan industria kecil. Pengembangan fasiltitas, sarana trasnportasi yang memadai agar masyarakat dengan mudah memasarkan hasil-hasil pertanian. Dengan demikian, lahan-lahan bisa dimanfaatkan dengan baik, lapangan kerja terbuka, sehingga ekonomi rakyat pun maju. Tapi ini mengandaikan pemerintahan yang memiliki konsep pembangunan yang berbasis pada komunitas lokal dengan mengembangan pertumbuhan ekonomi mikro.
Kedua, penegakan hukum. Mental borjuasi dan korupsi masih menjadi wajah para penguasa (kolonialisme baru) di daerah. Demi mengolkan tambang, pemda telah berselingkuh dengan para investor. Logika yang digunakan adalah, eksplotasi demi kesejahteraan, maka izin konsesi pun dibuat, tak peduli bila menabrak rasa keadilan masyarakat dan juga hukum yang berlaku.
Maraknya perlawanan masyarakat atas tambang, mengisyaratkan ada yang tidak beres, yang melukai rasa keadilan. Kita pun pantas bertanya, siapa yang disejahterakan? Apakah rakyat, penguasa atau para investor? Pemda pun memberi keistimewaan kepada investor tambang, akibat lapar investasi dan PAD yang instan.
Pasti, kalau memang penguasa tidak merasa diuntungkan, sudah lama tambang itu ditolak. Celakanya, penguasa hanya mementingkan kaumnya, tak peduli lagi dengan kesejahteraan masyarakat, apalagi memikirkan dampak ekologis dari ganasnya monster tambang. Lalu apa yang menyebabkan Pemda seakan “tunduk” atau berada di bawa bayang-bayang korporasi?
Gejala ini muncul seiring dengan bertumbuhnya politik uang, politik transaksional, yang menciptakan mafia tambang dan lingkaran korupsi. Seringkali ada permainan gelap antara korporasi dan pemerintah, izin konsesi di dapat begitu mudah, meskipun ilegal. Praktek ini memperlihatkan bahwa korupsi itu melilit penyelenggara pemerintahan. Artinya, dalam konteks tambang, korupsi itu sudah terjadi sejak awal, mulai dari izin konsesi, eksplorasi, ekspolitasi dan ekspor.
Untuk itu, penting juga seiring derasnya penolakan atas tambang, dan di balik inkonsistensi Pemda, tersirat ada hal yang disembunyikan oleh Pemda. Untuk menguak hal yang disembunyikan itu sebenernya sangat mudah. Menurut Hasiman, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu mengaudit proses yang ada. Jika ada kejanggalan, BPK harus meneruskannya ke KPK untuk ditertibkan sekaligus meredam perampasan kekayaan alam.
Di sisi lain, transparansi dari bisnis tambang itu harus jelas. Yang dalam bahasa Hasiman, presiden dan DPR bisa mengeluarkan aturan hukum memublikasikan semua cek atau dana yang dikirim ke tingkat lokal (tidak hanya diketahui PPATK). Pemda juga harus memublikasikan jumlah hasil penjualan konsesi pertambangan dan jumlah bagi hasil untuk pusat-daerah kepada rakyat di daerahnya.
Dengan itu, berkaca pada realitas penolakan atas tambang di Matim, jika Agas mempertanyakan konsistensi warga, publik pun pantas bertanya in-konsistensi Agas dalam menilik masalah tambang di wilayahnya, Apakah Agas konsisten dengan kesejahteraan rakyat Matim? Di sisi lain, “Janji” Nahas sebagai wakil rakyat perlu direalisasi. Tentunya publik berharap ada sesuatu yang baru dari wakilnya di DPR, yang berpihak pada rakyat.
Izin tambang itu dikeluarkan Pemkab, tambang memang selalu menggoda nurani para pemimpin karena uang pelicinnya banyak. Kalau memang tambang tidak menyejahterakan rakyat, apakah John Nahas Sebagai ketua DPRD Matim dan anggota lainya mau bersama rakyat menuntut Izin Tambang di Matim itu dicabut kembali oleh Pemkab? Kita tunggu ‘gaung nurani’ Nahas dan wakil rakyat yang lainnya, sembari berharap akan ada ‘kebijaksanaan’ yang pro rakyat mengalir dari nuraninya Bupati dan Wakil Bupati Matim.