Tambang Timah di Bangka Belitung |
Kisruh soal lahan tambang timah di Kepulauan Bangka Belitung (Babel) bukanlah hal baru. Ketika kepualauan ini sedang berjuang untuk menjadi provinsi ada satu pertanyaan yang belum bisa dijawab oleh pejuang saat itu. Apakah Babel siap tanpa timah? Memang jawabannya siap, tetapi tidak dapat menjelaskan secara matematis dan akurat apa yang dimaksudkan siap itu.
Penulis waktu ikut dalam rapat dengan Pansus DPR RI yang dipimpin Panda Nababan dari PDIP, sempat nyeletuk bahwa Babel siap dengan menjadikannya sentra lada dunia. Tetapi belakangan jawaban penulis itu salah. Kini Babel tidak lagi menjadi eksportir lada putih terbesar yang amat terkenal didunia itu.
Bahkan rekomendasi Prof. Dr. Emil Salim ketika ditugaskan Presiden SBY untuk mempelajari kesiapan Babel pasca timah, dengan tegas menyatakan bahwa Babel tidak siap pasca timah. Kontan saja, kesimpulan itu menyentakkan kita semua, bahwa mimpi kita agar Babel setelah menjadi provinsi akan menjadi provinsi yang makmur dan sejahtera semakin jauh panggang dari api.
Mengecilnya cadangan timah di perut bumi Babel, kini telah mencetak tabiat dan karakter baru masyarakat Babel. Rebutan lahan tambang timah baik di darat maupun dilaut kian menjadi. Jatah wilayah penambangan rakyat (WPR) yang dirancang untuk mensejahterakan penduduk desa kini habis disapu-bersih oleh penambang bermodal besar. Bahkan sikut menyikut rebutan lahan tambang timah ini sudah masuk wilayah “mafia”. Ada pihak yang tukang borong lahan lalu menjualnya kepada penambang besar yang smelternya terancam suplai pasir timah. Bahkan ada pula yang mentransaksikan hutan lindung. Setelah dibayar pemodal besar, baru ketahuan bahwa yang dijual adalah hutan lindung. Urusan pun berujung ke kamar jeruji besi polisi. Tapi tak sampai seminggu para petaka ini pun sudah beraksi lagi. Pokoknya, permainan lahan timah sudah mirip permainan yang dijalankan mafia di Miami Amerika Serikat. Betapa tidak. Meski telah berkali-kali Mabes Polri mendatangkan tim khusus ke Babel, toh praktek ini tidak juga usai hingga kini.
Kisruh Dolphin Island
Bagi masyarakat Belitung, konsep Dolphin Island (pulau lumba-lumba) adalah akal-akalan para penambang timah lepas pantai yang dikenal dengan aktivitas kapal ‘isap’ (kapal hisap, red). Maksudnya, untuk membuat obyek wisata di pantai Barat Pulau Belitung, Pemda bersama Investor berencana membuat sebuah pulau baru berbentuk lumba-lumba dengan menggunakan timbunan tanah laut yang dikeruk olek kapal isap tadi. Dalam benak Pemda dan Investor, pasir timahnya dapat diambil dan pulau dapat dibentuk dari pasir laut buangan kapal isap tadi. Secara logika amat jenius, sebuah konsep yang bisa disebut sebuah terobosan.
Rencananya, di Dolphin Island akan dibangun fasilitas wisata baru berupa hotel, restoran dan sarana rekreasi lainnya. Investasi yang bakal disedot ke proyek prestisius itu mencapai Rp 3 trilyun. Tak sampai lima tahun Dolphin Island sudah berdiri. Itu rencananya.
Tetapi masyarakat Belitung punya pendirian lain. Habisnya daratan yang dikuasai oleh areal kebun kelapa sawit hingga ke dapur penduduk pun belum selesai, maka sebentar lagi mereka akan kehilangan sumber mata pencaharian di laut.
Tadinya melaut sebagai alternatif mengurai rezeki, sejak tak ada lagi hutan untuk berkebun, rasanya tidak adil kalau Pemda dan Investor tidak memikirkan bagaimana nasib rakyat disekitar proyek tersebut.
Janji bahwa rakyat akan menjadi tenaga kerja disitu, sudah tidak mempan. Mereka kapok dengan janji proyek perkebunan kelapa sawit yang dulu juga berjanji akan menampung masyarakat untuk bekerja. Benar ketika awal proyek dibuka masyarakat memang diajak dan menjadi pekerja. Tetapi tak sampai setahun kemudian, mulailah rasionalisasi. Dan kini sebagaian besar masyarakat di sekitar kebun sawit jadi pengangguran.
Kondisi itu, bakal terjadi pada proyek Dolphin Island. Akal-akalan murahan ini sudah tidak mempan lagi buat masyarakat Belitung.
Alasan lainnya, masyarakat juga khawatir bahwa Dolphin Island itu hanya semata akal-akalan penambang timah lepas pantai kelas kakap. Dikhawatirkan, tujuan utama mereka hanya untuk mengeruk pasir timahnya saja, lalu rencana Dolphin Island nya bakal dibiarkan terbengkalai. Sebab konsep semacam itu pernah ada di kepulauan Karimun. Tetapi setelah ditambang ternyata timahnya tidak memadai, serta merta saja investor meninggalkannya begitu rupa.
Tetapi biasanya, Pemda dan Investor akan menggunakan kekuasaannya, bahwa proyek itu harus dilaksanakan. Jika ini terjadi akan berdampak terhadap perilaku masyarakat, dimana angka kriminalitas akan meningkat dan suhu politik di Babel menjelang Pemilukada Gubernur 2012 akan memanas. Sebuah situasi yang menakutkan semua pihak.
Solusi
Dalam situasi semacam ini, penulis menilai bahwa konsep atau ide dasar Dolphin Island adalah konsep yang jenius. Tetapi Pemda juga perlu memikirkan. Pertama, bahwa masyarakat sekitar harus dilibatkan secara penuh bahkan kalau perlu mereka tidak semata sebagai tenaga kerja, tetapi juga sebagai owner kolektif melalui koperasi. Tetapi sahamnya harus saham pendiri dan saham abadi, alias bukan saham setor sampai kapan pun. Ini untuk menghindari pengecilan prosentase saham kelak ketika RUPS. Sehingga sumber matapencaharian yang tadinya terancam justru menimbulkan lahan pekerjaan baru bagi penduduk.
Kedua, sang investor perlu memberikan jaminan yang terjamin likuiditasnya kepada Pemda. Jika kelak proyek ini gagal, maka Pemda berhak mencairkan jaminan tersebut tanpa syarat. Jaminan itu bisa saja berupa bank garansi atau SBLC senilai investasi yang akan ditanamkan di Belitung. Cara ini sekaligus bermanfaat untuk menguji bahwa sang investor betul-betul bonafide atau hanya sekedar dapat fasilitas dari para petinggi di Babel. Cara ini sudah lazim diterapkan di China dan Hong Kong serta negara yang menjadi tujuan investasi terkini.
Ketiga, Pemda harus menjelaskan secara terang benderang kepada masyarakat tentang detil konsep Dolphin Island. Penjelasan itu tidak cukup hanya dikalangan DPRD, karena lembaga rakyat itu saat ini telah menjadi loss connected dengan konstituennya, sehingga apa yang telah disetujui oleh DPRD belum tentu disetujui pula oleh masyarakat.
Penjelasan ini tidak saja bagi masyarakat Belitung yang ada di Belitung tetapi masyarakat Belitung yang ada di perantauan.
Tanpa melakukan ini semua, penulis pikir lupakanlah konsep Dolphin Island. Jika kelak dipaksakan tanpa melalui apa yang tersebut di atas, maka yakinlah bahwa ini kelak hanya akan menambah persoalan baru dimana persoalan lahan sawit saja tidak kunjung selesai.