Mafia Tambang: Kasat Mata tapi Tak Terjamah |
Soekarno Jatuh Karena
Freeport & Mafia Tambang Indonesia. Menurut pengamat sejarawan (LIPI), Dr.
Asvi Marwan Adam, Soekarno benar-benar ingin Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia
dikelola oleh anak bangsa sendiri. Asvi juga menuturkan, sebuah arsip di Kedutaan
Besar Amerika Serikat di Jakarta mengungkapkan bahwa pada 15 Desember 1965 sebuah
tim yang dipimpin oleh Chaerul Saleh di Istana Cipanas sedang membahas tentang nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Soeharto yang sangat pro-pemodal
asing, datang ke sana dengan menumpang helikopter. Dia menyatakan kepada
peserta rapat, bahwa dia dan Angkatan Darat tidak setuju rencana nasionalisasi
perusahaan asing itu. “Soeharto sangat berani saat itu, Bung Karno juga tidak
pernah memerintahkan seperti itu,” kata Asvi.
Sebelum tahun 1965,
seorang taipan dari Amerika (Freeport Sulphur) menemui Soekarno. Pengusaha itu
menyatakan keinginannya berinvestasi di Papua. “Saya sepakat & itu tawaran
menarik. Tapi tidak untuk saat ini", coba tawarkan kepada generasi setelah
saya,” ujar Asvi menirukan jawaban Soekarno. Soekarno menolak secara halus.
Soekarno sudah bertekad bahwa SDA harus dikelola anak bangsa dalam bentuk BUMN
& pada waktu itu belum ada BUMN.
BUMN yang ada saat ini
adalah murni ide dan inisiasi dari Soekarno untuk dikelola berdasarkan UUD 1945
pasal 33 bentukan. Pada waktu itu Soekarno berencana modal asing baru boleh masuk
ke Indonesia setelah putra-putri Indonesia siap mengelola. Soekarno tidak mau
perusahaan luar negeri masuk pada saat orang Indonesia masih memiliki
pengetahuan nol tentang alam mereka sendiri. Untuk mempersiapkan penguasaan
SDA, Soekarno mengirim banyak mahasiswa belajar ke negara-negara Eropa, Rusia, Eropa
Timur, Jepang, dan lain-lain.
Presiden Soekarno dan Jenderal Soeharto |
Pada tahun 1964, seorang
peneliti diberi akses untuk membuka dokumen penting yang ada di Departemen Luar
Negeri & menemukan surat dari Duta Besar Pakistan di Eropa. Desember 1964,
diplomat itu menyampaikan informasi rahasia dari intelijen Belanda yang
mengatakan bahwa dalam waktu dekat, Indonesia akan beralih ke Barat. Maksud
dari informasi itu adalah akan dibuat isu terjadi kudeta di Indonesia oleh Partai
Komunis. Oleh sebab itu Jenderal Soeharto memiliki alasan kuat untuk menamatkan
Partai Komunis Indonesia (PKI), setelah itu membuat Soekarno menjadi tahanan.
Telegram rahasia dari
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat ke Perserikatan Bangsa-Bangsa pada April
1965 menyebut Freeport Sulphur. Freeport Sulphur sudah sepakat dengan
pemerintah Indonesia untuk penambangan puncak Erstberg di Papua. Salah satu
bukti sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang
menyatakan ada pertemuan para penglima tinggi dan pejabat Angkatan Darat
Indonesia membahas rencana darurat itu, bila Presiden Soekarno meninggal. Namun
kelompok yang dipimpin Jenderal Soeharto tersebut ternyata bergerak lebih jauh
dari rencana itu. Jenderal Soeharto justru mendesak angkatan darat agar
mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan.
Mantan pejabat CIA Ralph
Mc Gehee juga pernah bersaksi bahwa semuanya itu memang benar adanya. Maka
dibuatlah PKI sebagai kambing hitam (tersangka) pembunuhan 7 Dewan Jenderal yang
pro-Sukarno melalui G30S yang didalangi oleh PKI. Setelah pecahnya peristiwa
Gerakan 30 September 1965, keadaan Indonesia berubah total. Terjadi kudeta yang
telah direncanakan dengan “memelintir dan mengubah” isi Surat Perintah 11 Maret
(SUPERSEMAR) 1966. Pada akhirnya isi dari surat perintah itu disalah-artikan,
dan SUPERSEMAR itu pun hingga kini tidak diketahui di mana rimbanya maupun
wujud aslinya sampai sekarang. Dalam SUPERSEMAR, menurut Kolonel Saelan, Soekarno
sebenarnya hanya memberi mandat untuk mengatasi keadaan negara yang kacau-balau
kepada Soeharto. Isi dari SUPERSEMAR itu bukan justru menjadikan Soeharto untuk
menjadi seorang Presiden menggantikan Soekarno.
Presiden Soekarno bersama Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy |
Dalam artikel berjudul
JFK, Indonesia, CIA, and Freeport yang diterbitkan Probe Magazine edisi Maret-April
1996, Lisa Pease menulis bahwa Forbes Wilson mendapat telepon dari Ketua Dewan
Direktur Freeport, Langbourne Williams, menanyakan, “Apakah Freeport sudah siap
untuk mengekplorasi gunung emas di Irian Barat?” Dia berpikir Freeport masih
akan sulit mendapatkan izin karena Soekarno masih berkuasa. Forbes Wilson jelas
kaget dengan jawaban & sikap tegas Soekarno yang juga sudah tersebar di dalam
dunia para elite-elite & kartel-kartel pertambangan & minyak dunia.
Ketika itu Soekarno masih
sah menjabat sebagai Presiden Indonesia hngga 1967. Lalu darimana Williams
yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan Freeport? Lisa Pease
mendapatkan jawabannya. Para petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai kontak
dengan tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia. Beberapa elit Indonesia
yang dimaksud pada era itu diantaranya adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan
pada saat itu Ibnu Sutowo. Pada saat penandatanganan kontrak dengan Freeport,
juga dilakukan oleh menteri Pertambangan Indonesia selanjutnya yaitu Ir. Slamet
Bratanata. Selain itu juga ada seorang pengusaha sekaligus “makelar” untuk perusahaan-perusahaan
asing yaitu ex-KNIL dari Australia Julius Tahija. Julius Tahija berperan
sebagai penghubung antara Ibnu Sutowo dengan Freeport.
Freeport menjadi
perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto. Perusahaan
Freeport Sulphur of Delaware, AS pada 7 April 1967 menandatangani kontrak kerja
dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat.
Penandatanganan bertempat di Deptamben, dengan Pemerintah Indonesia diwakili
oleh Menteri Ir. Slamet Bratanata, Freeport Robert C. Hills (Presiden Direktur
Freeport Shulpur). Disaksikan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia,
Marshall Green, Freeport mendapat hak konsensi lahan seluas 10.908 hektar untuk
kontrak selama 30 tahun.
Jika Soekarno melakukan kontrak-kontrak
dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, maka sejak Soeharto
berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah merugikan Indonesia. Perjanjian-perjanjian
tambang-tambang di bumi Indonesia tak wajar, tak adil & terus-menerus serta
perjanjian-perjanjian tersebut akan berlaku puluhan bahkan ratusan tahun ke
depan. Kekayaan alam Indonesia pun digadaikan, kekayaan Indonesia pun terjual,
dirampok, dibawa kabur ke negara-negara maling.
1980, Freeport menggandeng
McMoran milik Jim Bob Moffet & menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba
lebih dari 1,5 miliar dollar Amerika Serikat pertahun. Eksekutif
Freeport-McMoran, George A. Maley, dalam buku berjudul “Grasberg”, memaparkan
tambang emas disitu memiliki deposit terbesar di dunia. Maley juga menulis jika
biaya produksi tambang emas/tembaga terbesar di dunia di Irian Barat itu merupakan
yang termurah di dunia. Seyogyanya sebutan “Kota Tembagapura” itu sebenarnya
menyesatkan dan salah, karena seharusnya adalah “Kota Emaspura”. Gunung
tersebut sejatinya adalah memang gunung emas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar